Jumat, 27 Juli 2012

ETIKA PRAGMATIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

KATA PENGANTAR
                                                                                                                                                                              
بسم الله الر الحمن الر حيم
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendak-Nya serta izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘’ Etika Keilmuan Dalam Pendidikan Islam”.
Semoga sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta keuaga, sahabat, kerabat dan seluruh umatnya sampai hari akhir nanti.
Dalam menyusun makalah  ini tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih terutama kepada Bapak Zaini, selaku dosen pembimbing, dan yang telah membina dan member arahan  sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya. Dan kami ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok IV, atas bantuan dan dukunganya, sehingga makalah ini dapat tersusun.
      Dalam makalah yang sederhana  ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan dan kami hanturkan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan tersebut. Dan agar bisa lebih baik pada tugas mendatang maka kami siap menerima bentuk saran maupun kritik. Semoga kehadiran makalah  ini dapat membawa manfaat tersendiri bagi siapa pun yang membacanya.
















                                          DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                  ……………………………………………       i                                                        
Daftar Isi                                               ……………………………………………        ii
BAB I      Pendahuluan                     ……………………………………………       iii
BAB II     Pembahasan                      …………………………………………...        1
Etika Pragmatis dalam Pendidikan Islam …………………………………….        1
Positivisme Dalam Etika Keilmuan           …………………………………….       2
Etika Keilmuan pada Zaman Renaissance …………………………………..                  3
Daftar Pustaka                                    ……………………………………………
















                                          BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.

Hidup yang baik dan bagaimana hidup denga baik pastilah telah lama menjadi bahan pemikiran manusia. Hamper tidak mungkinlah manusia tidak menghadapi dua peryataan fundamental dari hidupnya, yakni “dari mana asalnya” dan “kemana ia harus menuju”. Sejauh pengetahuan kami, soal asal mula tujuan hidup di Indonesia ini juga telah menjadi pokok pembicaraan para pemikir bangsa. Garis besar pemikiran mereka ialah bahwa manusia tidak bisa hidup begitu saja, ia mesti mengerti hakikat hidupnya.
“Tidah mudahlah orang itu hidup, bila tiada tahu akan hakikat hidupnya, samalah seperti kerbau, bahkan kerbau lebih berharga, dagingnya halal bila dimakan, sedangkan daging manusia, haram bila dimakan”.[1]
Benar bahwa perbuatanya mempunyai tujuan langsung, tetapi apakah manusia secara total tau secara keseluruhan, mempunyai tujuan? Supaya apa yang di kehendaki bisa tercapai, kita juga harus tau etika dalam hidup, cara berfikir yang baik, sikap dan ucap yang baik.
Di makalah ini sudah dijelaskan berbagai hal tentang etika keilmuan dalam filsafat Islam, agar kita bisa menjadi orang yang berpikir jerman dan berhati mekah.










BAB II
PEMBAHASAN

A.     ETIKA PRAGMATIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Aliran pragmatis timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus berubah).[2]
Makna “etika”. Istilah dipakai dalam dua macam arti. Yang satu tampak dalam ungkapan seperti “ saya pernah belajar etika.” Dalam penggunaan seperti ini etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Makna kedua seperti yang terdapat dalam ungkapan “ia bersifat etis” atau “ia seorang yang jujur” dalam hal-hal tersebut bersifat etik merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, manusia-manusia yang lain, dalam arti yang demikian ini, “bersifat etik” setara dengan “bersifat susila”.[3]
Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul Tahdzib Al-Akhla, dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar terorganisasi dan tersistem.[4]
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagian, kebahagiaan manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan, pertama, melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan sifat kebinatangan dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang berada dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada pengguna akal dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran[5].
Patut pula diangkat bahwa etika sebagai ilmu pengetahuan dapat berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencangkup penanaman kualitas moral dan etika kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti melanggar perintah atau kehendak tuhan.[6]
Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu. Sedangkan dalam ontologi dipertanyakan apa hakekat sesuatau, dalam epistimologi dipertanyakan bagaimana sesuatu itu terjadi dan dari mana sesuatu itu ada, maka dalam aksiologi dipertanyakan mengenai tujuan dari hakikat sesuatu. Misalnya, tentang pendidikan islam maka muncul pertanyaan, apa pendidikan islam itu? Mengapa pendidikan islam diperlukan? Untuk apa ada pendidikan?
Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif pragmatisme, etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pragmatism. Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa criteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah bagian dari tugas agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.
Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut :
·         Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita anggab benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut Jemes, dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia adala dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan tentang kepercayaan agama.
Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak didik yang bertagwa kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berpengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan keuntungan.
·         Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nayata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.

Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna. Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik. Dalam perspektif islam, pendidikan etika juga membahas pula masalah yang berkaitandengan substansi etika yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam, terutama brkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
§  Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
§  Keilmuan yang berbasis kepada po;a pendidikan tradisional Islam.
§  Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
§  Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama Islam.
§  Keilmuan yang mengacu pada dokrin agama Islam dan kebergantungan kepada tokoh agama.


B.     POSITIFISME DALAM ETIKA KEILMUAN
Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat  terlepas dari pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas. Positisme di perkenalkan oleh Aguste Comte(198-1857) yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-1842), selain itu karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit Positive(1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itulah, Positisme menolak cabang filsafat metafisika.
   Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, Teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-hukum alam yang asasi dan dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan pengetahuan dapat ditinjau kembali dan di perluas.
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak selamanya hierarkis sistematis sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam tidak dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua etika yang paling mendasar, yaitu :
1.    Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang pencipta.
2.    Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana Allah yang tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
            
C.   ETIKA KEILMUAN PADA ZAMAN RENAISSANCE DAN HUMANISME

             Istilah Renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti kebangkitan kembali. Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules Michelet. Menurutnya, Renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia, bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.
             Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes (1596-1650). Sejak saat permulaan Renaissance, individualisme dan humanism telah dicanangkan. Descartes memperkuat ide-ide ini. Humanisme dan individualisme merupakan cirri Renaissance yang sangat penting. Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya.
             Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja(Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat manusia.
             Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari agama. Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya”  atau “ apa yang kini ada” menjadi “apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri pula.
             Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah perubahan.
             Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat At-Tin ayat 4-5 :


ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِين             . لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
      
            
Artinya :
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”  (Q.S. At-Tin : 4-5)
Yang menyebabkan kemulyaan manusia terjaga dan harkat martabatnya tetap tingi adalah keilmuannya yang dapat membangun keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:
إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Artinya :
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.S. At-Tin : 6)
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang mendirikan sekolah filosofi lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicorus, ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat  jiwa untuk menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133-266 SM). Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun 264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk tentang sikap sopan santun dalam kehidupan. Tujuanya menyempurnakan moral manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis. Skeptis artinya ragu-ragu. Keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan. Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon sendiri lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM.

KESIMPULAN


Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa etika keilmuan dalam filsafat pendidikan islam itu sangat peting, karena dalam agama kita sudah diajarkan tata cara berperilaku yang baik, dan cara berpikir yang kritis, agar kita bisa menjadi orang yang berpikir jerman dan berhati mekah.
Jadi etika keilmuan yang harus dibangun adalah :
1.    Semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Karena Allah Robbul ‘alamin.
2.    Setiap ilmu wajib di gali dan dicari sebanyak mungkin karena islam mewajibkan mencari ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.
3.    Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4.    Setiap ilmu yang dimili harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan menolong orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5.    Setiap ilmu yang dimili harus sdisebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum
6.    Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam mempertahankan kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadharatan.
Jadi etika keilmuan itu menjelaskan bagaimana cara berpikir yang baik, agar kita bisa menjadi seorang pendidik yang bisa memberikan contoh, teladan yang baik pada anak didik kita nanti.
                              

















DAFTAR PUSTAKA

Ø Hasan basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009
Ø Ramayulis H. dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2009
Ø  Supriadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2009
Ø  Alavi Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung, Angkasa, 2003
Ø  Poespoprodjo W. Filsafat Moral, Bandung, Pustaka Grafika, 1999



[1] Serat wulang reh Djangkep XI Asmarandana No 5 Hal 20, penerbit took buku gunung lawu, solo
[2] Ramayulis dan samsul nizar, Filsafat pendidikan Islam, Jakarta, kalam mulia, 2006, hal, 33
[3] ibid
[4] Dedi Supriadi, pengantar filsafat Islam, bandung, CV pustaka Setia 2009, hal 114
[5] Alavin Zianuddin,pemikiran islam,bandung,angkasa2003 hal,32
[6] Ibid hal 66

1 komentar:

  1. erita menyentuh] Ibu, Maafkan Aku…
    24th June 2009 | By: eko_juli

    Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang. Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan.

    Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tdk mempunyai uang.

    Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”

    ” Ya, tetapi, aku tdk membawa uang” jawab Ana dengan malu-malu

    “Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu” jawab si pemilik kedai. “Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.

    Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.

    Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.

    “Adaapa nona?” Tanya si pemilik kedai.

    “tidak apa-apa” aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

    “Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !, tetapi,…

    ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah”

    “Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” katanya kepada pemilik kedai

    Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata

    “Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi utukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”

    Ana, terhenyak mendengar hal tsb.

    “Mengapa aku tdk berpikir ttg hal tsb? Utk semangkuk bakmi dr org yg baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.

    Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia mnguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya.

    Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg hrs diucapkan kpd ibunya.

    Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas.

    Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang”

    Pada saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

    Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kpd org lain disekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita.

    Tetapi kpd org yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

    BalasHapus